1. Mengenal Sejarah makam Rejenu
Di
wilayah desa Japan terdapat sebuah makam seorang wali yang di banyak
dikunjungi para peziarah baik dari masyarakat sekitar maupun dari luar
kabupaten kudus . Makam tersebut dianggap bertuah bagi masyarakat pada umumnya.
Banyak pendatang dari segala penjuru kota berbondong-bondong berziarah di makam
tersebut untuk berdoa dan bermunajad kepada Allah dengan berbagai berbagai
tujuan.
Dari
sumber yang dapat di percaya, konon pada zaman dahulu sekitar tahun 1922 M ada
3 orang musafir dari arab sedang mencari makam leluhur. Mereka mencari makam
tersebut mulai dari Banten, Cirebon, Pekalongan, Demak dan sampailah di Kudus.
Tetapi belum juga menemukan apa yang mereka cari. Sampai suatu ketika mereka
ingin mencarinya ke gunung muria mungkin ada, tetapi mereka kemalaman diperjalanan
dan akhirnya beristirahat disebuah masjid di desa piji dan bertemu seorang
kyai. Mereka berbincang-bincang tentang apa tujuan 3 orang musafir tersebut.
Kemudian kyai tersebut menyarankan untuk mencarinya ke gunung muria, tetapi
tetap tidak ada. Ada seorang laki-laki tua yang mengatakan bahwa di
rejenu ada sebuah makam kuno tetapi tidak tahu makam siapa. Mendengar cerita
tersebut, menjadikan 3 orang musafir sangat penasaran. Maka di carilah ke
rejenu.
Di
bawah pohon besar yang sangat tua itulah terdapat makam kuno yang di anggap
petuah. Kemudian di ambil tanah makam tersebut oleh 3 orang musafir tersebut
dengan membacakan takbir 3x. Subhanaallah dengan bacaan takbir, 3 orang musafir
tersebut mengetahui siapa yang menghuni makam itu. Dan ternyata makam yang di
ceritakan seorang laki-laki tua itu adalah makam leluhurnya yang selama ini
dicarinya.
Masyarakat
sekitar biasa memanggilnya Syeh Sadli yang berasal dari bahasa arab “ Syeh
Khasan Sadzali”. Ternyata makam Syeh Sadzali ratusan tahun lebih dulu ada dari
pada makam Walisongo yang ada di Pulau Jawa. Menurut juru kunci makam Rejenu,
Syeh Sadzali adalah seorang guru dari Sunan Muria Kangjeng Raden Umar Sa’id.
Tetapi opini tersebut belum bisa di lacak kebenarannya.
2. Tradisi di makam Rejenu
Bukak
Luwur
Makam
Syeh Sadzali mulai ramai diziarahi masyarakat sekitar tahun 80an dan jalan
menuju kesana pada waktu itu masih berupa semak-semak belukar. Lama kelamaan
mulai dibangun jalan dan akhirnya dibuatkan rabat beton dan bisa dilalui
kendaraan roda dua. Sehingga para peziarah bisa sampai ke makam tersebut dengan
menggunakan jasa ojek. Seperti makam-makam wali yang lain, dimakam Syeh Sadzali
terdapat sebuah tradisi yang di laksanakan setiap setahun sekali yaitu ‘Bukak
Luwur’. Bukak luwur adalah tradisi mengganti selambu putih(mori) yang
menyelimuti seluruh makam. bukak luwur Syeh Sadzali di laksanakan pada tanggal
25 Syura. Mengapa tanggal demikian???? Karena tanggal tersebut telah menjadi
kesepakatan para tokoh masyarakat atas petunjuk dari para kyai/ulama’ besar.
Pada acara khaul/bukak luwur tersebut diadakan berbagai kegiatan seperti halnya
pengajian, khatam Al-Qur’an, tahlil, kenduren nasi tumpeng.
Uniknya
kelambu atau kain putih bekas penutup makam tersebut menjadi rebutan masyarakat
karena untuk mendapatkan “berkah” dari wali yang bersangkutan. Masyarakat
meyakini bahwa atsar doa dari para peziarah menempel pada kain luwur
tersebut.
Air
3 Rasa
Selain
terdapat makam Syeh Sadzali, di rejenu juga terdapat 3 buah kolam kecil yang
berisi air yang sangat jernih. Yang menjadikan kolam itu beda adalah rasa yang
berbeda-beda. Mengapa bisa demikian??? Sampai sekarang bukti yang jelas
belum bisa di temukan. Tetapi menurut alamiah kolam tersebut telah
tercampur dengan getah dari akar pohon-pohon yang ada di atasnya, sehingga bisa
menimbukan rasa yang bermacam-macam.
Anehnya
di samping air 3 rasa tersebut juga terdapat air yang biasa digunakan untuk
wudlu tetapi rasanya tawar.
Tradisi/kebiasaan
masyarakat sekitar ataupun peziarah yang datang ke rejenu tidak afdhol jika
tidak mencicipi atau mengambil air 3 rasa tersebut. Menurut kepercayaan, air
tersebut berkhasiat menyembuhkan segala penyakit. Yang paling hebatnya air
tersebut tidak pernah habis walaupun pada musim kemarau, dan jika diambil
airnya rasanya tidak akan pernah hilang sampai berbulan-bulan. Tetapi semua
hanya tergantung niat dan kepercayaan masing-masing kepada Allah SWT yang telah
menciptakan segalanya di dunia ini. Kita patut bersyukur atas segala apa yang
telah diberikan kepada kita semua.
Tugas Individu:
SEJARAH KEBUDAYAAN KABUPATEN KUDUS
(JAWA TENGAH)
Oleh:
PRODI PEND. IPS TERPADU
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
TAHUN AKADEMIK
2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Makalah ”Sejarah Kebudayaan Kabupaten Kudus (Jawa Tengah)” tepat pada waktunya.
Pada kesempatan
ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada Dosen Mata
Kuliah Kapita Selekta Sejarah Kebudayaan
Indonesia.
Atas segala
bantuan, bimbingan dan pengarahan yang telah diberikan kepada penulis selama
melakukan Penulisan hingga selesainya penyusunan Makalah ini.
Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan oleh karena
itu penulis mengharapkan saran dan kritik membangun dari berbagai pihak untuk
kesempurnaan Makalah ini.
Akhirnya penulis
berharap semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan bermanfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang Pendidikan IPS.
Makassar, Oktober 2012
Penyusun
PEMBAHASAN
A. TENTANG KABUPATEN KUDUS
Kabupaten Kudus terdiri atas 9 kecamatan, yang dibagi lagi atas 123 desa
dan 9 kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Kota Kudus. Kudus merupakan kabupaten dengan wilayah terkecil dan
memiliki jumlah kecamatan paling sedikit di Jawa Tengah. Kabupaten Kudus
terbagi menjadi 3 wilayah pembantu bupati (kawedanan), yaitu: (1) Kawedanan Kota (Kec. Kota, Jati dan
Undaan). (2) Kawedanan Cendono (Kec. Bae, Dawe, Gebog dan Kaliwungu). (3)
Kawedanan Tenggeles (Kec. Mejobo dan Jekulo).
B. KEBUDAYAAN KABUPATEN KUDUS
Wisata Budaya Ampyang
Warga Loram Kulon, Kecamatan Jati,
Kabupaten Kudus mempunyai tradisi unik dalam memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Tradisi itu dinamakan Ampyang dengan menyajikan makanan yang
dihiasi dengan "ampyang" atau krupuk yang diarak keliling desa,
sebelum menuju ke Masjid Wali At Taqwa di Desa Loram Kulon.
Peserta kirab tradisi ampyang terdiri
dari, kelompok pelajar dari sejumlah sekolah tingkat SLTP, SLTA, TK, aktivis
mushola, organisasi massa dan pengusaha lokal yang membawakan pertunjukkan
kesenian.
Seusai diarak, ampyang diserahkan ke
pengurus mesjid untuk dikumpulkan dan didoakan. Acara selanjutnya adalah
membagikan sesaji tersebut ke masyarakat. Diharapkan dengan adanya tradisi ini
masyarakat tetap instropeksi diri dan berperilaku yang mencerminkan sifat-sifat
yang dimiliki Nabi Muhammad.
Wisata Budaya Dandangan
Dandangan merupakan tradisi menyambut datangnya Bulan
Ramadhan yang dilaksanakan di sekitar Menara Kudus. Dandangan sendiri diambil
dari suara bedug menara Kudus yang berbunyi dang dang dang dang. Tradisi ini
sudah berlangsung sejak Sunan Kudus.
Puncak acara adalah pada malam 1 Ramadhan dimana masyarakat
berkumpul di sekitar Masjid Menara Kudus untuk mendengarkan pengumuman dan
bedug yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda dimulainya ibadah puasa keesokan
harinya.
Banyaknya masyarakat yang berkumpul tersebut dimanfaatkan
para pedagang kecil dan mainan anak-anak untuk menjajakan dagangannya. Waktu
yang paling ramai dikunjungi adalah malah hari, dimana pengunjung terdiri dari
orang dewasa dan anak-anak. Tradisi ini dimulai pelaksanaan 7 hari sebelum
Ramadhan.
Wisata Budaya Kupatan
Kupatan merupakan salah satu tradisi Jawa yang berlangsung
seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri. Dinamakan Kupatan karena pada hari itu,
yakni hari ke-7 setelah perayaan 1 Syawal masyarakat membuat kupat (ketupat).
Tradisi ini sangat terasa jika kita berada di kota Kudus, Jepara, Pati, Demak,
Kendal, dan beberapa daerah terutama di pantura.
Pada hari Bakda Kupatan itu, sebagian masyarakat Kudus,
Jepara, dan sekitar merayakannya dengan mengunjungi tempat-tempat tertentu,
misalnya Bulusan di Kudus, Pantai Kartini dan Bandengan di Jepara. Tempat
tersebut sampai sekarang masih menjadi tempat favorit untuk menghabiskan Hari
Raya Kupatan.Bulusan Kudus, oleh sebagian orang dipercaya sebagai tempat ritual
pemandian dengan harapan mendapatkan jodoh bagi muda-mudi. Bulusan menurut
cerita rakyat merupakan tempat Sunan Muria kali pertama mengeluarkan fatwa
(sabda/ dhawuh): jeg kula wonten mriki sampun wonten. Kata-kata inilah yang
konon menjadi nama daerah Jekulo (sekarang nama kecamatan dan desa di kabupaten
Kudus ).
Konon dulu bulus-bulus (kura-kura) itu adalah penjelmaan
orang-orang yang tidak mematuhi dhawuh Sunan Muria, yang setiap lewat daerah
itu, Sunan Muria memberikan makanan pada bulus-bulus itu. Namun sekarang
bulusnya sudah tidak ada. Acara di Desa Colo, Kecamatan Dawe Kudus itu sejak
2009 ini adalah tahun ketiga memperingati tradisi Kupatan dengan merayakan
upacara seribu kupat yang telah tercatat dalam rekor Muri. Seribu ketupat
diarak sekeliling Colo menuju makam Sunan Muria, kemudian dibacakan doa oleh
ulama dan kemudian ketupat itu dibagikan kepada masyarakat, yang biasanya
saling berebut ketupat karena sebagian memercayai bisa membawa berkah.
Tidak diketahui persis kapan mulai tumbuh dan berkembangnya
tradisi dan apa makna filosofi dari perayaan tersebut. Ada yang berpendapat
bahwa Kupatan merupakan hari rayanya orang yang berpuasa 6 hari pada seminggu
setelah Lebaran hari pertama (tanggal 2-7 Syawal).
Pendapat lain mengatakan bahwa kupatan adalah berasal dari
kata ngaku lepat, artinya mengaku salah. Kupatan berarti (ngaku) kalepatan,
mengakui pernah berbuat salah. Apapun makna dan filosofinya, Kupatan merupakan
bagian tradisi yang penuh dengan nuansa khususnya Jawa. Kupatan telah menjadi
Hari Raya yang ke-2 pada bulan Syawal setelah Idul Fitri. Secara sosiologis,
seolah Kupatan telah mengajarkan arti pentingnya saling bertemu dan saling
mengakui kesalahan serta memaafkan satu dengan yang lainnya.
Dalam filosofi Jawa Kupatan bukan hanya sebuah tradisi
Lebaran dengan menghidangkan ketupat, sejenis makanan atau beras yang dimasak
dan dibungkus daun janur berbentuk prisma maupun segi empat sebab Kupatan
memiliki makna dan filososi mendalam. Tradisi itu berangkat dari upaya-upaya
Walisongo memasukkan ajaran Islam. Karena zaman dulu orang Jawa selalu
menggunakan simbol-simbol tertentu, akhirnya Walisongo memanfaatkan cara
tersebut sehingga tradisi itu menggunakan simbol janur atau daun kelapa muda
berwarna kuning.
Salah satu pertimbangannya adalah janur biasa digunakan
masyarakat Jawa dalam suasana suka cita. Umumnya, dipasang saat ada pesta
pernikahan atau momen yang menggembirakan. Janur dalam bahasa Arab berasal dari
kata ja a nur atau telah datang cahaya. Sebuah harapan cahaya menuju rahmat
Allah, sehingga terwujud negeri yang makmur dan penuh berkah. Sedangkan isinya,
dipilih beras kualitas terbaik yang dimasak jadi satu sehingga membentuk
gumpalan beras yang sangat kempel. Ini pun memiliki makna tersendiri, yakni
kebersamaan dan kemakmuran.
Dari sisi bahasa, kupat berarti ngaku lepat atau mengakui
kesalahan. Berkaitan dengan momen Lebaran, Kupatan mengusung semangat
saling memaafkan, semangat tobat pada Allah dan sesama manusia. Dengan harapan,
tidak akan lagi menodai dengan kesalahan pada masa depan.
Kupat dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kafi,
yakni kuffat yang berarti sudah cukup harapan. Jadi, dengan berpuasa satu bulan
penuh pada bulan Ramadan, kemudian Lebaran 1 Syawal, dan dilanjutkan dengan
puasa sunah enam hari Syawal, maka orang-orang kuffat , merasa cukup ibadahnya,
sebagaimana Hadis Nabi, dan hal itu bagaikan berpuasa selama satu tahun
penuh.
Wisata Budaya Buka Luwur
Buka Luwur adalah upacara penggantian luwur atau kain mori
yang digunakan untuk membungkus jirat, nisan, dan cungkup makam Sunan Kudus.
Acara yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram itu sebenarnya acara
pemasangan luwur yang baru. Buka luwurnya sendiri, sejak 6 tahun terakhir,
dilakukan pada tiap tanggal 1 Muharram. Sebenarnya tanggal itu bukan tanggal
wafat Sunan Kudus karena tidak ada yang mengetahuinya secara pasti.
Upacara Buka Luwur setiap tahunnya memiliki serangkaian
ritus. Jamas keris atau mencuci keris pusaka Sunan Kudus merupakan bagian dari
ritus awal. Penjamasan Keris luk sembilan Kiai Cinthoko atau sering disebut
Kiai Cipthoko, jatuh pada setiap hari Senin atau Kamis pertama setelah hari
Tasyriq (tanggal 11-13 Dzul Hijjah). Air yang digunakan untuk menjamas adalah
air rendaman merang ketan hitam, dan penjemurannya pun di atas brambut ketan
hitam pula. Dan seusai penjamasan dihidangkan suguhan atau banca'an berupa
jajan pasar. Konon, selama proses penjamasan keris pusaka Sunan Kudus ini,
keadaan cuaca selalu timbreng, yakni cuaca tidak dalam keadaan terik matahari
dan tidak pula mendung, apalagi hujan.
Ritus yang cukup penting adalah membuka kain mori makam
Sunan Kudus. Acara membuka luwur itu dilakukan pada tanggal 1 Muharram. Sejak
tanggal itu sampai dengan puncak acara pemasangan luwur baru, diwarnai dengan
berbagai ritus. Pada malam tanggal 9 Muharram digelar acara terbangan dan
pembacaan Kitab Barzanji atau Maulid Nabi, dan diakhiri dengan Do'a Rasul. Pagi
harinya, yaitu tanggal 9 Muharram pagi, dilakukan khataman al-Qur'an bi
al-ghaib, dan dilanjutkan dengan penyembelihan hewan seperti kerbau dan kambing
sumbangan dari masyarakat yang akan dibagikan kembali kepada masyarakat.
Pada malam tanggal 10 Muharram digelar tahlil dan pengajian
umum. Puncak acara Buka Luwur adalah pada tanggal 10 Muharram, yaitu pemasangan
luwur baru. Acara Buka Luwur yang berpusat di Tajug (joglo tempat penerimaan
tamu) itu dilakukan dengan beberapa prosesi, di antaranya adalah pembacaan
riwayat Sunan Kudus, dilanjutkan dengan pembacaan kalimat tasbih bersama-sama.
Rangkaian prosesi di Tajug ini diakhiri dengan pemasangan luwur baru dan
ditutup dengan pembacaan tahlil berikut doanya. Pada hari yang sama, masyarakat
ikut “berpesta” dengan memperebutkan makanan berupa nasi dan daging yang
dibungkus daun jati.
Wisata Budaya Pakaian Adat Kudus
Pakaian
Adat Wanita
· Caping Kalo
· Baju kurung beludru
· Jarik/Sinjang Laseman
· Selendang Tohwatu
· Selop kelompen
· Aksesoris kepala dan leher yaitu sanggul besar dengan
cunduk mentul berjumlah lima atau tiga buah, Suweng beras kecer atau suweng
babon angkrem, kalung (sangsang) robyong berjuntai lima (5) atau berjuntai
sembilan (9), menghiasi leher sampai dengan dadanya, kancing peniti dari keping
mata uang: ece, ukon, rupih atau ringgit, gelang lungwi, cincin Sigar Penjalin
Pakaian
Adat Pria
· Blangkon gaya Surakarta
· Beskap Kudusan
· Jarik Laseman
· Selop alas kaki
· Ikat pinggang atau Timang
· Keris motif Gayaman atau ladrangan
Nilai Filosofis
Caping kalo tutup kepala
bentuknya bulat melambangkan bahwa setiap manusia wajib berpasrah diri secara
bulat dan untuk kepada Sang Maha Pencipta, Allah S.W.T, Caping Kalo :
melambangkan manusia supaya mampu menutup telinga (nacapi kuping), terhadap
suara-suara negatif yang merugikan kehidupan, sebab disana banyak segala
kemungkinan ( kae-lhoooooo [dalam bahasa Indonesia artinya : disana lho] ) yang
perlu diwaspadai.
Kalung robyong berjuntai lima atau Sembilan melambangkan bawalah kemana saja (kalungake; Jw.) sebagai
pegangan hidup yaitu lima rukun Islam, yang diajarkan oleh para wali di tanah
Jawa (Wali Songo), tentang Iman dan Islam. Lakukanlah secara berobyong
(kebersamaan seiman guna mencapai kebahagiaan dunia/akhirat).
Kancing peniti berupa uang emas direnteng melambangkan bahwa manusia harus menghargai nilai-nilai
iman sampai ke dalam relung hati, kancinglah (kuncilah/tutuplah) segala sesuatu
yang biasanya menggoda hati manusia dan menghancurkan manusia. Terimalah dengan
senang hati bila dihinakan (diece-kancing-ece), teguhlah kepada berbagai
cita-cita mulia (rupi-rupi-pengarah-kancing rupiah Jw.), agar nilai hidupmu
tetap bernilai tinggi, lebih tinggi dari uang ringgit emas di dadamu.
Gelang Lungwi
melambangkan Pagari dan ikatlah kedua tanganmu seerat dan sekuat tali lungwi,
yaitu tali tampar yang terbuat dari kulit bambu apus agar tanganmu terkendali
dan tidak terjerumus melakukan perbuatan tercela, yang meskipun secara lahiriah
tampak menguntungkan, tetapi sebenarnya manusia tertipu
(kapusan-pringapus).Berbuatlah engkau seperti elungnya uwi (pucuk jalur tanaman
ubi), selalu merunduk meskipun berusaha berdiri. Kaum muda harus waspada karena
masih hijau pengalamannya (pucuk elung uwi hijau muda), karena setiap
kelengahan akan mudah patah (masih muda/lunak) dan kahirnya pasti merugi.
Gelung Sanggul Bercunduk Mentul melambangkan janganlah mahligai dirimu
tidak terawat, aturlah dengan kebulatan tekad pasrahmu dan sisipkan angan
citamu perbuatan yang mikolohi serta cundhuk (sesuai) dengan mentul merunduknya
imanmu. Jadikanlah tingkah lakumu yang membuat mentul, bijaksana serta adil.
Keris pusaka
melambangkan disengker cikben ora miris. Pusaka piyandel harus selalu melekat
pada tubuh manusia, agar tidak mengalami keraguan atau ketakutan dan guna
memperoleh ketenangan jiwa bawalah pusaka. Yang paling ampuh ialah kalimat
syahadat.. Janganlah manusia lepas dari kalimat syahadat karena bila terlepas
bisa menghantarkan manusia ke neraka.Bersikaplah gagah kesatria, karena pusaka
sudah melekat pada tubuhmu.
Jam Gandul Berantai Emas jam melambangkan petunjuk tentang waktu,
seharusnya tidak boleh menunda waktu ibadah lima waktu dimana saja, jaga aja
nganti kesundhul (gandhul) wektu amarga kena godha rentengana ngoyak bondho
(emas).Tegasnya demi waktu janganlah ibadah menjadi tertunda akibat terlilit
oleh harta benda.
Blangkon/ikat kepala
memberikan peringatan kepada manusia agar bersikap lebih terbuka dan jangan
suka memberi perintah kepada orang lain (blakblakan lan aja tukang sepakon atau
blangkon). Lindungilah otakmu dari semua gangguan, ikatlah seerat mungkin
tekadmu demi kebagusan (kebaikan).
Suweng Beras Kecer/Babon Angkrem memberi peringatan kepada manusia agar jangan berbuat
gegabah jangan tergesa-gesa berbuat meskipun dibakar oleh santer/kekerasannya
suara dan informasi yang membangkitkan amarah. (Suweng = aja kesusu
ngaweng/nyabet, sanajan beda laras, hammangkelake lan ngekecer wirang).Tutuplah
telinga rapat-rapat dan redamlah suara negatif meskipun menyakitkan hati,
karena semua cercaan, hinaan, cemoohan dan ejekan adalah pundi-pundi
kebahagiaan.
Wisata Budaya Rumah Adat Kudus
Rumah Adat Kudus, yang menurut kajian historis-arkeologis,
telah ditemukan pada tahun 1500 – an M, dibangun dengan bahan baku 95 % berupa
kayu jati dengan teknologi pemasangan sistem “knoc-down” (bongkar pasang tanpa
paku). Merupakan seni ukir 4 dimensi dari perpaduan seni ukir Hindu, Persia
(Islam), Cina, dan Eropa, dengan tetap ada nuansa ragam hias asli Indonesia.
Keunikan Rumah Adat Kudus yang juga cukup menarik untuk dicermati adalah
kandungan nilai-nilai filosofis yang direfleksikan rumah adat ini.
Bentuk ukiran dan motif ragam hias ukiran, misalnya : pola
kala dan gajah penunggu, rangkaian bunga melati (sekar rinonce), motif ular
naga, buah nanas (sarang lebah), motif burung phoenix, dan lain-lain.
Tata letak rumah adat, misalnya arah hadap rumah harus ke
selatan, dengan maksud agar pemilik rumah tidak memangku G. Muria (yang
terletak di sebelah utara) sehingga tidak memperberat kehidupan sehari-hari.
Tata ruang rumah adat
·
Jogo satru / ruang tamu dengan soko geder-nya
/ tiang tunggal sebagai simbol bahwa Allah SWT itu Tunggal/Esa dan penghuni
rumah harus senantiasa beriman dan bertakwa kepada-Nya
·
Gedhongan dan senthong / ruang keluarga dengan
4 buah soko guru-nya. Tiang berjumlah 4 sebagai penyangga utama bangunan rumah
melambangkan agar penghuni rumah menyangga kehidupannya sehari-hari dengan
mengendalikan 4 sifat manusia : amarah, lawamah, shofiyah, dan mutmainnah
·
Pawon / dapur
·
Pakiwan (kamar mandi) sebagai simbol agar
manusia membersihkan diri baik fisik maupun rohani
·
Tanaman di sekeliling pakiwan, misalnya pohon
belimbing, yang melambangkan 5 rukun Islam. pandan wangi, sebagai simbol rejeki
yang harum / halal dan baik,bunga melati, yang melambangkan keharuman, perilaku
baik dan berbudi luhur, serta kesucian abadi.
Tata Cara Perawatan Rumah Adat Kudus
Kekhasan (keunikan) Rumah Adat Kudus yang juga cukup
menarik adalah tatacara perawatan rumah adat yang dilakukan oleh masyarakat
pemiliknya sendiri dengan cara tradisional dan turun-temurun dari generasi ke
generasi. Jenis bahan dasar yang digunakan untuk perawatan Rumah Adat Kudus
merupakan ramuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman empiris pemiliknya, yaitu
ramuan APT (Air pelepah pohon Pisang dan Tembakau) dan ARC (Air Rendaman
Cengkeh). Ramuan ini terbukti efisien dan efektif mampu mengawetkan kayu jati,
bahan dasar Rumah Adat Kudus, dari serangan rayap (termite) dan sekaligus
meningkatkan pamor dan permukaan kayu menjadi lebih bersih, karena ramuan APT
dan ARC dioleskan berulang-ulang ke permukaan dan komponen-komponen bangunan
kayu jati.
Wisata Budaya Menara Kudus
Menara Kudus adalah bangunan tua yang terbuat dari batu
bata merah berbentuk Menara yang merupakan hasil akulturasi kebudayaan
Hindu-Jawa dan Islam. Menara Kudus bukanlah bangunan bekas Candi Hindu
melainkan menara yang dibangun pada zaman kewalian / masa transisi dari akhir
Kerajaan Majapahit beralih ke zaman Kerajaan Islam Demak. Bentuk konstruksi dan
gaya arsitektur Menara Kudus mirip dengan candi-candi Jawa Timur di era
Majapahit sampai Singosari misalnya Candi Jago yang menyerupai menara Kulkul di
Bali. Menara Kudus menjadi simbol “Islam Toleran” yang berarti Sunan Kudus
menyebarluaskan agama Islam di Kudus dengan tetap menghormati pemeluk agama
Hindu-Jawa yang dianut masyarakat setempat.
Diperkirakan Menara Kudus ini berasal dari abad 16,
dibangun oleh Syeh Ja’far Shodiq (Sunan Kudus, salah seorang dari Wali Songo).
Ditiang atap Menara terdapat sebuah candrasengkala yang berbunyi "Gapura
rusak ewahing jagad". Menurut Prof. DR RM Soetjipto Wirjosoepano,
candrasengkala ini menunjukkan Gapuro ( 6 ), Rusak ( 0 ), Ewah ( 6 ) dan Jagad
( 1 ) yang di dalam bahasa jawa dibaca dari belakang sehingga menjadi 1609 yang
bermakna Menara dibangun pada tahun Jawa 1609 atau 1685 M.
Wisata Budaya Festival
Patiayam
Festival Patiayam merupakan kegiatan
yang bertujuan untuk menghidupkan kembali aktivitas budaya masyarakat Patiayam
dalam mendukung pengembangan Situs Patiayam. Kegiatan ini dilatarbelakangi
oleh keberadaan situs Patiayam yang merupakan lokasi penemuan kehidupan
prasejarah berupa fosil fauna dan manusia purba.
Rangkaian pada festival ini adalah:
- Selamatan
Sendang dan pengambilan air
- Kirab
bibit tanaman
- Pagelaran
Wayang Dongeng
- Parade
Puisi
- Pentas
Rebana
- Sendra
Tari Tradisional
- Drama
- Pemutaran
film dokumentasi Patiayam
- Pemutaran
film dokumentasi proses Festival Patiayam
- Penanaman
bibit
Patiayam merupakan situs purba di Pegunungan Patiayam yang terletak di Dukuh
Patiayam, Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus Situs purba Patiayam
memiliki persamaan dengan situs purba Sangiran, Trinil, Mojokerto dan Nganjuk.
Sejumlah fosil binatang purba ditemukan penduduk setempat seperti kerbau,
gajah, dan tulang lain.
Wisata Budaya Museum Kretek
Museum Kretek terletak sekitar 3 km ke
arah selatan dari pusat kota Kudus, tepatnya di Desa Getas Pejaten Kecamatan
Jati Kudus. Museum Kretek dibangun sebagai simbol Kota Kudus sebagai Kota
Kretek menyimpan berbagai peralatan dan mesin-mesin tradisional pembuatan rokok
kretek dan rokok klobot serta sarana promosi rokok pada masa itu. Disamping itu
ada diorama yang menggambarkan proses penanaman dan pengolahan bahan baku rokok
kretek (tembakau, cengkeh, dan klobot jagung).
Museum ini diresmikan pada 3 Oktober
1986 oleh Menteri Dalam Negeri. Museum kretek merupakan tempat untuk
merekonstruksi sejarah industri rokok Kudus dari era kejayaan Raja Rokok Kretek
Kudus Niti Semito yang terkenal dengan cap Bal Tiga sampai dengan perkembangan
industri rokok Kudus era modern sekarang ini.
Di kompleks museum juga terdapat rumah
adat Kudus dan fasilitas bermain anak-anak diantaranya adalah waterboom dan
kolam arus.
Wisata Budaya Situs Purbakala
Patiayam
Pegunungan Pati Ayam terletak Di Desa
Terban, Kecamatan Jekulo, Kudus. Di sana terdapat gading gajah purba, gigi
geraham nenek moyang (Homo Erectus), etc. Situs Patiayam termasuk salah satu situs
Homonid Kala Plestosen di Jawa. Sang primadona di situs patiayam ini adalah
Stegodon Trigonochepalus.
Pada tahun 2006 dilakukan penelitian
yang menghasilkan temuan-temuan berupa fosil Suidae, Chelonidae, dan Moluska.
Selanjutnya pada tahun 2007 dilakukan penggalian di lokasi G. Nangka dan
penemuan alat-alat batu di Sungai Kancilan. Tahun 2008 dilakukan identifikasi
terhadap fosil-fosil berupa :
- Bovidae
(banteng, kerbau)
- Cervidae
(rusa, kijang)
- Chelonidae
(kura-kura)
- Crocodilus
(buaya)
- Elephantidae
(Gajah)
- Felidae
(Macan, harimau)
- Rhinoceroti
dae (Badak)
- Stegodon
(Gajah Purba)
- Suidae
(Babi Hutan)
- Testunidae Tridacna
(Kerang Laut)
- Hipopotamidae
(Kuda Nil)
- Hominidae
(Manusia Purba)
Wisata Budaya Tari Kretek
Tari Kretek merupakan seni pertunjukan
tari tradisional masyarakat di Kota Kudus. Kota Kudus terkenal sebagai kota
kretek, karena banyak pabrik kretek berdiri disini. Tari Kretek menggambarkan
proses pembuatan rokok kretek tradisional. Para penari memakai kain kebaya,
selendang bergaris hitam dengan topi lebar sambil membawa tampah sebagai tempat
tembakau.
Gerakan yang ditampilkan meliputi :
- Menyiapkan
bahan baku
- Mencampur
tembakau, cengkih dan saus
- Melinting
rokok
- Merapikan
rokok (mbatil)
- Mengemas
rokok
- Memasarkan
hasil produksi
1. Mengenal Sejarah makam Rejenu
Di
wilayah desa Japan terdapat sebuah makam seorang wali yang di banyak
dikunjungi para peziarah baik dari masyarakat sekitar maupun dari luar
kabupaten kudus . Makam tersebut dianggap bertuah bagi masyarakat pada umumnya.
Banyak pendatang dari segala penjuru kota berbondong-bondong berziarah di makam
tersebut untuk berdoa dan bermunajad kepada Allah dengan berbagai berbagai
tujuan.
Dari
sumber yang dapat di percaya, konon pada zaman dahulu sekitar tahun 1922 M ada
3 orang musafir dari arab sedang mencari makam leluhur. Mereka mencari makam
tersebut mulai dari Banten, Cirebon, Pekalongan, Demak dan sampailah di Kudus.
Tetapi belum juga menemukan apa yang mereka cari. Sampai suatu ketika mereka
ingin mencarinya ke gunung muria mungkin ada, tetapi mereka kemalaman diperjalanan
dan akhirnya beristirahat disebuah masjid di desa piji dan bertemu seorang
kyai. Mereka berbincang-bincang tentang apa tujuan 3 orang musafir tersebut.
Kemudian kyai tersebut menyarankan untuk mencarinya ke gunung muria, tetapi
tetap tidak ada. Ada seorang laki-laki tua yang mengatakan bahwa di
rejenu ada sebuah makam kuno tetapi tidak tahu makam siapa. Mendengar cerita
tersebut, menjadikan 3 orang musafir sangat penasaran. Maka di carilah ke
rejenu.
Di
bawah pohon besar yang sangat tua itulah terdapat makam kuno yang di anggap
petuah. Kemudian di ambil tanah makam tersebut oleh 3 orang musafir tersebut
dengan membacakan takbir 3x. Subhanaallah dengan bacaan takbir, 3 orang musafir
tersebut mengetahui siapa yang menghuni makam itu. Dan ternyata makam yang di
ceritakan seorang laki-laki tua itu adalah makam leluhurnya yang selama ini
dicarinya.
Masyarakat
sekitar biasa memanggilnya Syeh Sadli yang berasal dari bahasa arab “ Syeh
Khasan Sadzali”. Ternyata makam Syeh Sadzali ratusan tahun lebih dulu ada dari
pada makam Walisongo yang ada di Pulau Jawa. Menurut juru kunci makam Rejenu,
Syeh Sadzali adalah seorang guru dari Sunan Muria Kangjeng Raden Umar Sa’id.
Tetapi opini tersebut belum bisa di lacak kebenarannya.
2. Tradisi di makam Rejenu
Bukak
Luwur
Makam
Syeh Sadzali mulai ramai diziarahi masyarakat sekitar tahun 80an dan jalan
menuju kesana pada waktu itu masih berupa semak-semak belukar. Lama kelamaan
mulai dibangun jalan dan akhirnya dibuatkan rabat beton dan bisa dilalui
kendaraan roda dua. Sehingga para peziarah bisa sampai ke makam tersebut dengan
menggunakan jasa ojek. Seperti makam-makam wali yang lain, dimakam Syeh Sadzali
terdapat sebuah tradisi yang di laksanakan setiap setahun sekali yaitu ‘Bukak
Luwur’. Bukak luwur adalah tradisi mengganti selambu putih(mori) yang
menyelimuti seluruh makam. bukak luwur Syeh Sadzali di laksanakan pada tanggal
25 Syura. Mengapa tanggal demikian???? Karena tanggal tersebut telah menjadi
kesepakatan para tokoh masyarakat atas petunjuk dari para kyai/ulama’ besar.
Pada acara khaul/bukak luwur tersebut diadakan berbagai kegiatan seperti halnya
pengajian, khatam Al-Qur’an, tahlil, kenduren nasi tumpeng.
Uniknya
kelambu atau kain putih bekas penutup makam tersebut menjadi rebutan masyarakat
karena untuk mendapatkan “berkah” dari wali yang bersangkutan. Masyarakat
meyakini bahwa atsar doa dari para peziarah menempel pada kain luwur
tersebut.
Air
3 Rasa
Selain
terdapat makam Syeh Sadzali, di rejenu juga terdapat 3 buah kolam kecil yang
berisi air yang sangat jernih. Yang menjadikan kolam itu beda adalah rasa yang
berbeda-beda. Mengapa bisa demikian??? Sampai sekarang bukti yang jelas
belum bisa di temukan. Tetapi menurut alamiah kolam tersebut telah
tercampur dengan getah dari akar pohon-pohon yang ada di atasnya, sehingga bisa
menimbukan rasa yang bermacam-macam.
Anehnya
di samping air 3 rasa tersebut juga terdapat air yang biasa digunakan untuk
wudlu tetapi rasanya tawar.
Tradisi/kebiasaan
masyarakat sekitar ataupun peziarah yang datang ke rejenu tidak afdhol jika
tidak mencicipi atau mengambil air 3 rasa tersebut. Menurut kepercayaan, air
tersebut berkhasiat menyembuhkan segala penyakit. Yang paling hebatnya air
tersebut tidak pernah habis walaupun pada musim kemarau, dan jika diambil
airnya rasanya tidak akan pernah hilang sampai berbulan-bulan. Tetapi semua
hanya tergantung niat dan kepercayaan masing-masing kepada Allah SWT yang telah
menciptakan segalanya di dunia ini. Kita patut bersyukur atas segala apa yang
telah diberikan kepada kita semua.
Tugas Individu:
SEJARAH KEBUDAYAAN KABUPATEN KUDUS
(JAWA TENGAH)
Oleh:
PRODI PEND. IPS TERPADU
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
TAHUN AKADEMIK
2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Makalah ”Sejarah Kebudayaan Kabupaten Kudus (Jawa Tengah)” tepat pada waktunya.
Pada kesempatan
ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada Dosen Mata
Kuliah Kapita Selekta Sejarah Kebudayaan
Indonesia.
Atas segala
bantuan, bimbingan dan pengarahan yang telah diberikan kepada penulis selama
melakukan Penulisan hingga selesainya penyusunan Makalah ini.
Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan oleh karena
itu penulis mengharapkan saran dan kritik membangun dari berbagai pihak untuk
kesempurnaan Makalah ini.
Akhirnya penulis
berharap semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan bermanfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang Pendidikan IPS.
Makassar, Oktober 2012
Penyusun
PEMBAHASAN
A. TENTANG KABUPATEN KUDUS
Kabupaten Kudus terdiri atas 9 kecamatan, yang dibagi lagi atas 123 desa
dan 9 kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Kota Kudus. Kudus merupakan kabupaten dengan wilayah terkecil dan
memiliki jumlah kecamatan paling sedikit di Jawa Tengah. Kabupaten Kudus
terbagi menjadi 3 wilayah pembantu bupati (kawedanan), yaitu: (1) Kawedanan Kota (Kec. Kota, Jati dan
Undaan). (2) Kawedanan Cendono (Kec. Bae, Dawe, Gebog dan Kaliwungu). (3)
Kawedanan Tenggeles (Kec. Mejobo dan Jekulo).
B. KEBUDAYAAN KABUPATEN KUDUS
Wisata Budaya Ampyang
Warga Loram Kulon, Kecamatan Jati,
Kabupaten Kudus mempunyai tradisi unik dalam memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Tradisi itu dinamakan Ampyang dengan menyajikan makanan yang
dihiasi dengan "ampyang" atau krupuk yang diarak keliling desa,
sebelum menuju ke Masjid Wali At Taqwa di Desa Loram Kulon.
Peserta kirab tradisi ampyang terdiri
dari, kelompok pelajar dari sejumlah sekolah tingkat SLTP, SLTA, TK, aktivis
mushola, organisasi massa dan pengusaha lokal yang membawakan pertunjukkan
kesenian.
Seusai diarak, ampyang diserahkan ke
pengurus mesjid untuk dikumpulkan dan didoakan. Acara selanjutnya adalah
membagikan sesaji tersebut ke masyarakat. Diharapkan dengan adanya tradisi ini
masyarakat tetap instropeksi diri dan berperilaku yang mencerminkan sifat-sifat
yang dimiliki Nabi Muhammad.
Wisata Budaya Dandangan
Dandangan merupakan tradisi menyambut datangnya Bulan
Ramadhan yang dilaksanakan di sekitar Menara Kudus. Dandangan sendiri diambil
dari suara bedug menara Kudus yang berbunyi dang dang dang dang. Tradisi ini
sudah berlangsung sejak Sunan Kudus.
Puncak acara adalah pada malam 1 Ramadhan dimana masyarakat
berkumpul di sekitar Masjid Menara Kudus untuk mendengarkan pengumuman dan
bedug yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda dimulainya ibadah puasa keesokan
harinya.
Banyaknya masyarakat yang berkumpul tersebut dimanfaatkan
para pedagang kecil dan mainan anak-anak untuk menjajakan dagangannya. Waktu
yang paling ramai dikunjungi adalah malah hari, dimana pengunjung terdiri dari
orang dewasa dan anak-anak. Tradisi ini dimulai pelaksanaan 7 hari sebelum
Ramadhan.
Wisata Budaya Kupatan
Kupatan merupakan salah satu tradisi Jawa yang berlangsung
seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri. Dinamakan Kupatan karena pada hari itu,
yakni hari ke-7 setelah perayaan 1 Syawal masyarakat membuat kupat (ketupat).
Tradisi ini sangat terasa jika kita berada di kota Kudus, Jepara, Pati, Demak,
Kendal, dan beberapa daerah terutama di pantura.
Pada hari Bakda Kupatan itu, sebagian masyarakat Kudus,
Jepara, dan sekitar merayakannya dengan mengunjungi tempat-tempat tertentu,
misalnya Bulusan di Kudus, Pantai Kartini dan Bandengan di Jepara. Tempat
tersebut sampai sekarang masih menjadi tempat favorit untuk menghabiskan Hari
Raya Kupatan.Bulusan Kudus, oleh sebagian orang dipercaya sebagai tempat ritual
pemandian dengan harapan mendapatkan jodoh bagi muda-mudi. Bulusan menurut
cerita rakyat merupakan tempat Sunan Muria kali pertama mengeluarkan fatwa
(sabda/ dhawuh): jeg kula wonten mriki sampun wonten. Kata-kata inilah yang
konon menjadi nama daerah Jekulo (sekarang nama kecamatan dan desa di kabupaten
Kudus ).
Konon dulu bulus-bulus (kura-kura) itu adalah penjelmaan
orang-orang yang tidak mematuhi dhawuh Sunan Muria, yang setiap lewat daerah
itu, Sunan Muria memberikan makanan pada bulus-bulus itu. Namun sekarang
bulusnya sudah tidak ada. Acara di Desa Colo, Kecamatan Dawe Kudus itu sejak
2009 ini adalah tahun ketiga memperingati tradisi Kupatan dengan merayakan
upacara seribu kupat yang telah tercatat dalam rekor Muri. Seribu ketupat
diarak sekeliling Colo menuju makam Sunan Muria, kemudian dibacakan doa oleh
ulama dan kemudian ketupat itu dibagikan kepada masyarakat, yang biasanya
saling berebut ketupat karena sebagian memercayai bisa membawa berkah.
Tidak diketahui persis kapan mulai tumbuh dan berkembangnya
tradisi dan apa makna filosofi dari perayaan tersebut. Ada yang berpendapat
bahwa Kupatan merupakan hari rayanya orang yang berpuasa 6 hari pada seminggu
setelah Lebaran hari pertama (tanggal 2-7 Syawal).
Pendapat lain mengatakan bahwa kupatan adalah berasal dari
kata ngaku lepat, artinya mengaku salah. Kupatan berarti (ngaku) kalepatan,
mengakui pernah berbuat salah. Apapun makna dan filosofinya, Kupatan merupakan
bagian tradisi yang penuh dengan nuansa khususnya Jawa. Kupatan telah menjadi
Hari Raya yang ke-2 pada bulan Syawal setelah Idul Fitri. Secara sosiologis,
seolah Kupatan telah mengajarkan arti pentingnya saling bertemu dan saling
mengakui kesalahan serta memaafkan satu dengan yang lainnya.
Dalam filosofi Jawa Kupatan bukan hanya sebuah tradisi
Lebaran dengan menghidangkan ketupat, sejenis makanan atau beras yang dimasak
dan dibungkus daun janur berbentuk prisma maupun segi empat sebab Kupatan
memiliki makna dan filososi mendalam. Tradisi itu berangkat dari upaya-upaya
Walisongo memasukkan ajaran Islam. Karena zaman dulu orang Jawa selalu
menggunakan simbol-simbol tertentu, akhirnya Walisongo memanfaatkan cara
tersebut sehingga tradisi itu menggunakan simbol janur atau daun kelapa muda
berwarna kuning.
Salah satu pertimbangannya adalah janur biasa digunakan
masyarakat Jawa dalam suasana suka cita. Umumnya, dipasang saat ada pesta
pernikahan atau momen yang menggembirakan. Janur dalam bahasa Arab berasal dari
kata ja a nur atau telah datang cahaya. Sebuah harapan cahaya menuju rahmat
Allah, sehingga terwujud negeri yang makmur dan penuh berkah. Sedangkan isinya,
dipilih beras kualitas terbaik yang dimasak jadi satu sehingga membentuk
gumpalan beras yang sangat kempel. Ini pun memiliki makna tersendiri, yakni
kebersamaan dan kemakmuran.
Dari sisi bahasa, kupat berarti ngaku lepat atau mengakui
kesalahan. Berkaitan dengan momen Lebaran, Kupatan mengusung semangat
saling memaafkan, semangat tobat pada Allah dan sesama manusia. Dengan harapan,
tidak akan lagi menodai dengan kesalahan pada masa depan.
Kupat dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari kafi,
yakni kuffat yang berarti sudah cukup harapan. Jadi, dengan berpuasa satu bulan
penuh pada bulan Ramadan, kemudian Lebaran 1 Syawal, dan dilanjutkan dengan
puasa sunah enam hari Syawal, maka orang-orang kuffat , merasa cukup ibadahnya,
sebagaimana Hadis Nabi, dan hal itu bagaikan berpuasa selama satu tahun
penuh.
Wisata Budaya Buka Luwur
Buka Luwur adalah upacara penggantian luwur atau kain mori
yang digunakan untuk membungkus jirat, nisan, dan cungkup makam Sunan Kudus.
Acara yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram itu sebenarnya acara
pemasangan luwur yang baru. Buka luwurnya sendiri, sejak 6 tahun terakhir,
dilakukan pada tiap tanggal 1 Muharram. Sebenarnya tanggal itu bukan tanggal
wafat Sunan Kudus karena tidak ada yang mengetahuinya secara pasti.
Upacara Buka Luwur setiap tahunnya memiliki serangkaian
ritus. Jamas keris atau mencuci keris pusaka Sunan Kudus merupakan bagian dari
ritus awal. Penjamasan Keris luk sembilan Kiai Cinthoko atau sering disebut
Kiai Cipthoko, jatuh pada setiap hari Senin atau Kamis pertama setelah hari
Tasyriq (tanggal 11-13 Dzul Hijjah). Air yang digunakan untuk menjamas adalah
air rendaman merang ketan hitam, dan penjemurannya pun di atas brambut ketan
hitam pula. Dan seusai penjamasan dihidangkan suguhan atau banca'an berupa
jajan pasar. Konon, selama proses penjamasan keris pusaka Sunan Kudus ini,
keadaan cuaca selalu timbreng, yakni cuaca tidak dalam keadaan terik matahari
dan tidak pula mendung, apalagi hujan.
Ritus yang cukup penting adalah membuka kain mori makam
Sunan Kudus. Acara membuka luwur itu dilakukan pada tanggal 1 Muharram. Sejak
tanggal itu sampai dengan puncak acara pemasangan luwur baru, diwarnai dengan
berbagai ritus. Pada malam tanggal 9 Muharram digelar acara terbangan dan
pembacaan Kitab Barzanji atau Maulid Nabi, dan diakhiri dengan Do'a Rasul. Pagi
harinya, yaitu tanggal 9 Muharram pagi, dilakukan khataman al-Qur'an bi
al-ghaib, dan dilanjutkan dengan penyembelihan hewan seperti kerbau dan kambing
sumbangan dari masyarakat yang akan dibagikan kembali kepada masyarakat.
Pada malam tanggal 10 Muharram digelar tahlil dan pengajian
umum. Puncak acara Buka Luwur adalah pada tanggal 10 Muharram, yaitu pemasangan
luwur baru. Acara Buka Luwur yang berpusat di Tajug (joglo tempat penerimaan
tamu) itu dilakukan dengan beberapa prosesi, di antaranya adalah pembacaan
riwayat Sunan Kudus, dilanjutkan dengan pembacaan kalimat tasbih bersama-sama.
Rangkaian prosesi di Tajug ini diakhiri dengan pemasangan luwur baru dan
ditutup dengan pembacaan tahlil berikut doanya. Pada hari yang sama, masyarakat
ikut “berpesta” dengan memperebutkan makanan berupa nasi dan daging yang
dibungkus daun jati.
Wisata Budaya Pakaian Adat Kudus
Pakaian
Adat Wanita
· Caping Kalo
· Baju kurung beludru
· Jarik/Sinjang Laseman
· Selendang Tohwatu
· Selop kelompen
· Aksesoris kepala dan leher yaitu sanggul besar dengan
cunduk mentul berjumlah lima atau tiga buah, Suweng beras kecer atau suweng
babon angkrem, kalung (sangsang) robyong berjuntai lima (5) atau berjuntai
sembilan (9), menghiasi leher sampai dengan dadanya, kancing peniti dari keping
mata uang: ece, ukon, rupih atau ringgit, gelang lungwi, cincin Sigar Penjalin
Pakaian
Adat Pria
· Blangkon gaya Surakarta
· Beskap Kudusan
· Jarik Laseman
· Selop alas kaki
· Ikat pinggang atau Timang
· Keris motif Gayaman atau ladrangan
Nilai Filosofis
Caping kalo tutup kepala
bentuknya bulat melambangkan bahwa setiap manusia wajib berpasrah diri secara
bulat dan untuk kepada Sang Maha Pencipta, Allah S.W.T, Caping Kalo :
melambangkan manusia supaya mampu menutup telinga (nacapi kuping), terhadap
suara-suara negatif yang merugikan kehidupan, sebab disana banyak segala
kemungkinan ( kae-lhoooooo [dalam bahasa Indonesia artinya : disana lho] ) yang
perlu diwaspadai.
Kalung robyong berjuntai lima atau Sembilan melambangkan bawalah kemana saja (kalungake; Jw.) sebagai
pegangan hidup yaitu lima rukun Islam, yang diajarkan oleh para wali di tanah
Jawa (Wali Songo), tentang Iman dan Islam. Lakukanlah secara berobyong
(kebersamaan seiman guna mencapai kebahagiaan dunia/akhirat).
Kancing peniti berupa uang emas direnteng melambangkan bahwa manusia harus menghargai nilai-nilai
iman sampai ke dalam relung hati, kancinglah (kuncilah/tutuplah) segala sesuatu
yang biasanya menggoda hati manusia dan menghancurkan manusia. Terimalah dengan
senang hati bila dihinakan (diece-kancing-ece), teguhlah kepada berbagai
cita-cita mulia (rupi-rupi-pengarah-kancing rupiah Jw.), agar nilai hidupmu
tetap bernilai tinggi, lebih tinggi dari uang ringgit emas di dadamu.
Gelang Lungwi
melambangkan Pagari dan ikatlah kedua tanganmu seerat dan sekuat tali lungwi,
yaitu tali tampar yang terbuat dari kulit bambu apus agar tanganmu terkendali
dan tidak terjerumus melakukan perbuatan tercela, yang meskipun secara lahiriah
tampak menguntungkan, tetapi sebenarnya manusia tertipu
(kapusan-pringapus).Berbuatlah engkau seperti elungnya uwi (pucuk jalur tanaman
ubi), selalu merunduk meskipun berusaha berdiri. Kaum muda harus waspada karena
masih hijau pengalamannya (pucuk elung uwi hijau muda), karena setiap
kelengahan akan mudah patah (masih muda/lunak) dan kahirnya pasti merugi.
Gelung Sanggul Bercunduk Mentul melambangkan janganlah mahligai dirimu
tidak terawat, aturlah dengan kebulatan tekad pasrahmu dan sisipkan angan
citamu perbuatan yang mikolohi serta cundhuk (sesuai) dengan mentul merunduknya
imanmu. Jadikanlah tingkah lakumu yang membuat mentul, bijaksana serta adil.
Keris pusaka
melambangkan disengker cikben ora miris. Pusaka piyandel harus selalu melekat
pada tubuh manusia, agar tidak mengalami keraguan atau ketakutan dan guna
memperoleh ketenangan jiwa bawalah pusaka. Yang paling ampuh ialah kalimat
syahadat.. Janganlah manusia lepas dari kalimat syahadat karena bila terlepas
bisa menghantarkan manusia ke neraka.Bersikaplah gagah kesatria, karena pusaka
sudah melekat pada tubuhmu.
Jam Gandul Berantai Emas jam melambangkan petunjuk tentang waktu,
seharusnya tidak boleh menunda waktu ibadah lima waktu dimana saja, jaga aja
nganti kesundhul (gandhul) wektu amarga kena godha rentengana ngoyak bondho
(emas).Tegasnya demi waktu janganlah ibadah menjadi tertunda akibat terlilit
oleh harta benda.
Blangkon/ikat kepala
memberikan peringatan kepada manusia agar bersikap lebih terbuka dan jangan
suka memberi perintah kepada orang lain (blakblakan lan aja tukang sepakon atau
blangkon). Lindungilah otakmu dari semua gangguan, ikatlah seerat mungkin
tekadmu demi kebagusan (kebaikan).
Suweng Beras Kecer/Babon Angkrem memberi peringatan kepada manusia agar jangan berbuat
gegabah jangan tergesa-gesa berbuat meskipun dibakar oleh santer/kekerasannya
suara dan informasi yang membangkitkan amarah. (Suweng = aja kesusu
ngaweng/nyabet, sanajan beda laras, hammangkelake lan ngekecer wirang).Tutuplah
telinga rapat-rapat dan redamlah suara negatif meskipun menyakitkan hati,
karena semua cercaan, hinaan, cemoohan dan ejekan adalah pundi-pundi
kebahagiaan.
Wisata Budaya Rumah Adat Kudus
Rumah Adat Kudus, yang menurut kajian historis-arkeologis,
telah ditemukan pada tahun 1500 – an M, dibangun dengan bahan baku 95 % berupa
kayu jati dengan teknologi pemasangan sistem “knoc-down” (bongkar pasang tanpa
paku). Merupakan seni ukir 4 dimensi dari perpaduan seni ukir Hindu, Persia
(Islam), Cina, dan Eropa, dengan tetap ada nuansa ragam hias asli Indonesia.
Keunikan Rumah Adat Kudus yang juga cukup menarik untuk dicermati adalah
kandungan nilai-nilai filosofis yang direfleksikan rumah adat ini.
Bentuk ukiran dan motif ragam hias ukiran, misalnya : pola
kala dan gajah penunggu, rangkaian bunga melati (sekar rinonce), motif ular
naga, buah nanas (sarang lebah), motif burung phoenix, dan lain-lain.
Tata letak rumah adat, misalnya arah hadap rumah harus ke
selatan, dengan maksud agar pemilik rumah tidak memangku G. Muria (yang
terletak di sebelah utara) sehingga tidak memperberat kehidupan sehari-hari.
Tata ruang rumah adat
·
Jogo satru / ruang tamu dengan soko geder-nya
/ tiang tunggal sebagai simbol bahwa Allah SWT itu Tunggal/Esa dan penghuni
rumah harus senantiasa beriman dan bertakwa kepada-Nya
·
Gedhongan dan senthong / ruang keluarga dengan
4 buah soko guru-nya. Tiang berjumlah 4 sebagai penyangga utama bangunan rumah
melambangkan agar penghuni rumah menyangga kehidupannya sehari-hari dengan
mengendalikan 4 sifat manusia : amarah, lawamah, shofiyah, dan mutmainnah
·
Pawon / dapur
·
Pakiwan (kamar mandi) sebagai simbol agar
manusia membersihkan diri baik fisik maupun rohani
·
Tanaman di sekeliling pakiwan, misalnya pohon
belimbing, yang melambangkan 5 rukun Islam. pandan wangi, sebagai simbol rejeki
yang harum / halal dan baik,bunga melati, yang melambangkan keharuman, perilaku
baik dan berbudi luhur, serta kesucian abadi.
Tata Cara Perawatan Rumah Adat Kudus
Kekhasan (keunikan) Rumah Adat Kudus yang juga cukup
menarik adalah tatacara perawatan rumah adat yang dilakukan oleh masyarakat
pemiliknya sendiri dengan cara tradisional dan turun-temurun dari generasi ke
generasi. Jenis bahan dasar yang digunakan untuk perawatan Rumah Adat Kudus
merupakan ramuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman empiris pemiliknya, yaitu
ramuan APT (Air pelepah pohon Pisang dan Tembakau) dan ARC (Air Rendaman
Cengkeh). Ramuan ini terbukti efisien dan efektif mampu mengawetkan kayu jati,
bahan dasar Rumah Adat Kudus, dari serangan rayap (termite) dan sekaligus
meningkatkan pamor dan permukaan kayu menjadi lebih bersih, karena ramuan APT
dan ARC dioleskan berulang-ulang ke permukaan dan komponen-komponen bangunan
kayu jati.
Wisata Budaya Menara Kudus
Menara Kudus adalah bangunan tua yang terbuat dari batu
bata merah berbentuk Menara yang merupakan hasil akulturasi kebudayaan
Hindu-Jawa dan Islam. Menara Kudus bukanlah bangunan bekas Candi Hindu
melainkan menara yang dibangun pada zaman kewalian / masa transisi dari akhir
Kerajaan Majapahit beralih ke zaman Kerajaan Islam Demak. Bentuk konstruksi dan
gaya arsitektur Menara Kudus mirip dengan candi-candi Jawa Timur di era
Majapahit sampai Singosari misalnya Candi Jago yang menyerupai menara Kulkul di
Bali. Menara Kudus menjadi simbol “Islam Toleran” yang berarti Sunan Kudus
menyebarluaskan agama Islam di Kudus dengan tetap menghormati pemeluk agama
Hindu-Jawa yang dianut masyarakat setempat.
Diperkirakan Menara Kudus ini berasal dari abad 16,
dibangun oleh Syeh Ja’far Shodiq (Sunan Kudus, salah seorang dari Wali Songo).
Ditiang atap Menara terdapat sebuah candrasengkala yang berbunyi "Gapura
rusak ewahing jagad". Menurut Prof. DR RM Soetjipto Wirjosoepano,
candrasengkala ini menunjukkan Gapuro ( 6 ), Rusak ( 0 ), Ewah ( 6 ) dan Jagad
( 1 ) yang di dalam bahasa jawa dibaca dari belakang sehingga menjadi 1609 yang
bermakna Menara dibangun pada tahun Jawa 1609 atau 1685 M.
Wisata Budaya Festival
Patiayam
Festival Patiayam merupakan kegiatan
yang bertujuan untuk menghidupkan kembali aktivitas budaya masyarakat Patiayam
dalam mendukung pengembangan Situs Patiayam. Kegiatan ini dilatarbelakangi
oleh keberadaan situs Patiayam yang merupakan lokasi penemuan kehidupan
prasejarah berupa fosil fauna dan manusia purba.
Rangkaian pada festival ini adalah:
- Selamatan
Sendang dan pengambilan air
- Kirab
bibit tanaman
- Pagelaran
Wayang Dongeng
- Parade
Puisi
- Pentas
Rebana
- Sendra
Tari Tradisional
- Drama
- Pemutaran
film dokumentasi Patiayam
- Pemutaran
film dokumentasi proses Festival Patiayam
- Penanaman
bibit
Patiayam merupakan situs purba di Pegunungan Patiayam yang terletak di Dukuh
Patiayam, Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus Situs purba Patiayam
memiliki persamaan dengan situs purba Sangiran, Trinil, Mojokerto dan Nganjuk.
Sejumlah fosil binatang purba ditemukan penduduk setempat seperti kerbau,
gajah, dan tulang lain.
Wisata Budaya Museum Kretek
Museum Kretek terletak sekitar 3 km ke
arah selatan dari pusat kota Kudus, tepatnya di Desa Getas Pejaten Kecamatan
Jati Kudus. Museum Kretek dibangun sebagai simbol Kota Kudus sebagai Kota
Kretek menyimpan berbagai peralatan dan mesin-mesin tradisional pembuatan rokok
kretek dan rokok klobot serta sarana promosi rokok pada masa itu. Disamping itu
ada diorama yang menggambarkan proses penanaman dan pengolahan bahan baku rokok
kretek (tembakau, cengkeh, dan klobot jagung).
Museum ini diresmikan pada 3 Oktober
1986 oleh Menteri Dalam Negeri. Museum kretek merupakan tempat untuk
merekonstruksi sejarah industri rokok Kudus dari era kejayaan Raja Rokok Kretek
Kudus Niti Semito yang terkenal dengan cap Bal Tiga sampai dengan perkembangan
industri rokok Kudus era modern sekarang ini.
Di kompleks museum juga terdapat rumah
adat Kudus dan fasilitas bermain anak-anak diantaranya adalah waterboom dan
kolam arus.
Wisata Budaya Situs Purbakala
Patiayam
Pegunungan Pati Ayam terletak Di Desa
Terban, Kecamatan Jekulo, Kudus. Di sana terdapat gading gajah purba, gigi
geraham nenek moyang (Homo Erectus), etc. Situs Patiayam termasuk salah satu situs
Homonid Kala Plestosen di Jawa. Sang primadona di situs patiayam ini adalah
Stegodon Trigonochepalus.
Pada tahun 2006 dilakukan penelitian
yang menghasilkan temuan-temuan berupa fosil Suidae, Chelonidae, dan Moluska.
Selanjutnya pada tahun 2007 dilakukan penggalian di lokasi G. Nangka dan
penemuan alat-alat batu di Sungai Kancilan. Tahun 2008 dilakukan identifikasi
terhadap fosil-fosil berupa :
- Bovidae
(banteng, kerbau)
- Cervidae
(rusa, kijang)
- Chelonidae
(kura-kura)
- Crocodilus
(buaya)
- Elephantidae
(Gajah)
- Felidae
(Macan, harimau)
- Rhinoceroti
dae (Badak)
- Stegodon
(Gajah Purba)
- Suidae
(Babi Hutan)
- Testunidae Tridacna
(Kerang Laut)
- Hipopotamidae
(Kuda Nil)
- Hominidae
(Manusia Purba)
Wisata Budaya Tari Kretek
Tari Kretek merupakan seni pertunjukan
tari tradisional masyarakat di Kota Kudus. Kota Kudus terkenal sebagai kota
kretek, karena banyak pabrik kretek berdiri disini. Tari Kretek menggambarkan
proses pembuatan rokok kretek tradisional. Para penari memakai kain kebaya,
selendang bergaris hitam dengan topi lebar sambil membawa tampah sebagai tempat
tembakau.
Gerakan yang ditampilkan meliputi :
- Menyiapkan
bahan baku
- Mencampur
tembakau, cengkih dan saus
- Melinting
rokok
- Merapikan
rokok (mbatil)
- Mengemas
rokok
- Memasarkan
hasil produksi